Kali ini gue mau bercerita tentang usaha gue mengurangi kadar gula dalam campuran kopi yang setiap hari gue minum.
Gue yang mengenal kopi pada tahun 2012,
buah dari usaha gue untuk tidak ketiduran saat tiap malam menemani seorang perempuan bercerita, mulai dari pacarnya yang dingin, hari-hari yang dia habiskan, hingga obrolan-obrolan yang memaksa gue untuk berjanji untuk tidak ketiduran sebelum sms-an kami selesai.
Sampai pada akhirnya posisi gue tergantikan dan kami saling meninggalkan,
Namun kopi yang ia 'kenalkan' tetap menjadi teman yang tidak pernah pergi hingga saat ini.
Dalam waktu yang lama,
gue beranggapan jika kopi itu haruslah manis,
Cukuplah hidup yang pahit, kopi jangan!
Setidaknya itu pendapat gue sebelum gue mendengar seseorang memesan kopi dengan tambahan kalimat JANGAN DI KASIH GULA.
Itu kalimat ter keren yang pernah gue dengar.
Dan mulai saat itu gue mulai berniat mengurangi gula di kopi gue.
Meski pada awal-awal mencoba gue merasa kopi pahit bukanlah minuman manusia,
Tapi finally di dua bulan terakhir ini, gue berhasil mengurangi 100% gula di kopi gue.
Sekarang gue sudah benar-benar bisa menikmati pahitnya kopi.
Bahkan gue merasa kopi tanpa gula lebih mudah untuk dinikmati.
Karena kelak jika seseorang menawarkan segelas kopi,
Kita tidak perlu lagi khawatir jika nanti kopinya kemanisan,
atau kopi yang kita pesan sedikit pahit karena gulanya kurang.
Dan inilah yang akan gue terapkan dalam cara pandang gue terhadap cinta.
Selama ini gue selalu beranggapan jika cinta itu haruslah manis,
Asmara itu haruslah indah,
Namun sejauh apapun gue mencari,
selama apapun gue menunggu,
selirih gimanapun gue berdoa,
setulus gimana juga gue berjuang,
Akhir dari cinta yang gue harapkan tetaplah pahit.
Hal ini gue sadari setelah baru-baru ini gue kembali dibuat jatuh cinta kepada gadis manis bernama Erwinda Eka Saputri,
Gue kira karena kami sama-sama anak pertama,
sama-sama ada bahasa sansekerta di nama kami,
sama-sama suka anime,
sama-sama ada angka kembar pada umur kami di tahun ini,
ternyata tetap saja takdir tidak bisa di ubah sekeras apapun otak gue merekayasa masa depan.
tetap saja harapan membawa gue dari patah yang satu menuju patah yang lainnya.
Gue yang dulu berfikir, semakin sering gue berjumpa dengan patah hati, nantinya hati gue akan terbiasa dengan rasa sakit.
Ternyata tidak,
Seperti halnya kopi, pahit tetaplah pahit,
pun sakit tetaplah sakit,
Rasanya sama saja baik itu sakit hati untuk pertama kali,
maupun sakit hati untuk kesekian kalinya.
Dan bukankah gue hanya perlu menikmati saja pahitnya?
Atau malah hentikan saja pencarian gue akan cinta yang berakhir manis?
Memulai sudut padang baru jika cinta memang seharusnya pahit!
Dan gue harus terbiasa dengan sudut pandang itu,
Seperti gue membiasakan menikmati pahitnya kopi.
Bukankah ini sejalan dengan nilai-nilai stoikisme yang selama gue pelajari,
yakni PREMEDITATIO MALORUM yang berarti melatih kemalangan,
Filsuf Seneca pernah berkata, “kemalangan/musibah yang tak terduga sering kali yang paling menyakitkan”
Orang-orang stoik terbiasa mempersiapkan datangnya kemalangan/musibah tersebut dari jauh-jauh hari,
agar ketika kemalangan/musibah itu tiba, kita sudah sangat siap menjumpainya.
Seperti jika kita tahu bahwa hari ini akan terjadi mati lampu seharian, maka kita akan memiliki persiapan dengan mengisi penuh baterai HP kita, memasak nasi sebelum listrik padam atau bahkan di tingkat paling ekstrim kita mulai membangun panel surya.
Atas dasar ini, sepertinya gue juga harus mulai berfikir,
Jika nanti pada akhirnya gue memang tidak akan berjodoh dengan siapa-siapa.
Agar jika memang pada akhirnya, I will end this all alone.
Setidaknya tidak semenyakitkan,
dengan gue hidup dengan memegang keyakinan,
Jika kelak semuanya akan baik-baik saja.