mAhoNi..

Matahari benar benar overload siang ini, kalau saya berada di ruangan AC saya gak akan peduli dengan panas yang teramat sangat seperti ini, tapi sayangnya sekarang saya berada ditengah jalan, sedang berlari dengan menggunakan jas hitam tebal yang turut menyupport matahari untuk menertawai saya.
Mobil sial, kenapa kamu harus ngambek pada saat sepenting ini !
Kawan, perlu kalian tahu..
Berlari sejauh 5 kilometer dengan menggunakan jas hitam tebal dan sepatu kulit dengan diiringi teriknya matahari, itu benar benar adegan berbahaya, DON'T TRY AT HOME !

Saya sudah tidak kuat lagi untuk berlari dan nafaspun sudah tidak karuan, benar benar sesak !
Ditengah situasi seperti ini, tidak saya duga seorang malaikat hadir dan menampakkan pesonanya.
"dawet dawet, es dawet Den ?"
haha, ya ! Malaikat itu adalah nenek nenek penjual es Dawet Ayu yang biasa mangkal dijalan Mahoni, jalan besar yang jarang dilewati angkot !
"Den Tama mau kemana ?
rapih sekali dandanannya, kayak mau kondangan saja."
"saya memang lagi mau ke kondangan Nek."
[Nenek penjual es Dawet ini bernama Marsela Ros, - kalau dibarat ditulis Marcella Rose - orang tua nenek ini terobsesi dengan nama barat, tapi tidak mengerti spelling yang benar dari nama yang mereka berikan.
Nenek ini sudah 37 tahun berjualan dijalan Mahoni ini, debut perdananya dimulai dari berjualan kue, jamu, sayur dan akhrirnya sekarang menjadi penjual es Dawet Ayu.]
"Nek, nenek sudah gak jualan sayur lagi ?"
"Enggak Den, Aden tahu kan kalau dunia sekarang ini sangat panas, jadi nenek mencoba mendinginkannya dengan es Dawet buatan nenek."
senyum khas Indonesia yg bersahaja dan sudah sangat langka dinegeri yang terkenal akan keramahannya ini, keluar dari bibir tuanya.
"haha, nenek ini lebaynya gak ilang ilang !"
"Nek, ngomong ngomong rumah ini sekarang siapa yang punya ?"
Nenek itu menghentikan sejenak meracik es pesanan saya dan melihat kearah rumah besar dengan pohon Mahoni raksasa dihalaman depannya.
Rumah yang sempat kami diami selama 10 tahun.
Rumah yang menyimpan kenangan indah masa masa jaya keluarga kami.
Rumah yang dari tadi mengeluarkan suara berisik pertanda rumah ini sedang dalam perbaikan besar besaran.
"Rumah ini, setelah keluarga Aden menjualnya dengan keluarga Liem. Mereka mengontrakkannya dan tahun ini keluarga Liem berencana akan menjadikan rumah ini menjadi sebuah mall dan hari ini juga pohon Mahoni yang ada didepan rumah Aden dulu ini akan ditebang karena mengganggu pemandangan, katanya."
"YANG BENER AJA NEK ?
POHON YANG SUDAH PULUHAN TAHUN MENJADI SIMBOL DAERAH INI,
POHON YANG SETIAP HARINYA MENJADI TEMPAT BERTEDUH BAGI PENJUAL PENJUAL SEPERTI NENEK INI, SEKARANG MAU DITEBANG !!
APA GAK BISA DIBIARIN HIDUP AJA NEK ?
KENAPA HARUS DITEBANG !"
"hehe, nenek mah oke oke aja Den dengan pohon ini, masalahnya bukan nenek Den yang punya tanah ini."
Saya terdiam..
Kalian tahu kawan, betapa sangat berartinya pohon dengan nama latin Switenia Mahagoni Jacq ini bagi saya.
Akan saya ceritakan mengapa pohon Mahoni raksasa ini sangat berarti bagi saya.
Tapi sebelumnya, izinkan saya meminum dulu es ini.
Dan bagi kalian yang berpendapat bahwa berbicara dengan pohon itu adalah GILA, maka saya minta saat kalian membaca cerita ini..
Ya, hanya saat kalian membaca cerita ini saja. Kalian harus berpendapat bahwa berbicara dengan pohon itu adalah HOBI.
Duduk yang santai kawan, kisah ini akan segera saya ceritakan.

Tiga belas tahun yang lalu saat saya kelas satu SMP, tahun itu adalah tahun ke-2 ayahku, [mulai kalimat ini saya ganti kata "saya" dengan "aku", jangan tanya kenapa !] bapak Djamaluddin Jacob menjabat sebagai Ketua DPRD.
Itu adalah pencapaian tertinggi dari karir politik ayahku. Seseorang yang mempunyai ambisi besar dan ideologi yg kuat.
Kalian tahu kawan, pada saat kuliah ayahku menjadi ketua salah satu organisasi besar dikampusnya. Dia berhasil menghancurkan rezim Pak Mukhlis, seorang rektor yang selalu menciptakan ketetapan ketetapan yang sangat tidak berpihak pada mahasiswa.
Ayahku dengan gagah menyeret rektor itu keluar dari ruang kerjanya, membeberkan keburukan keburukan sang rektor serta bukti bukti penyelewengan dana [yang entah dari mana ayahku dapat] kepada para mahasiswa yg demo saat itu.
"Rekan rekan mahasiswa, sudah terlalu lama kita dibodohi oleh peraturan peraturan yang sangat tidak berpihak kepada mahasiswa kurang mampu seperti kita, itu semua kalian tahu untuk apa kawan ?
Semua itu hanya untuk membesarkan perut beliau ini, kawan kawan !!
Sekarang kalian lihat bukti bukti penyelewengan dana yg ada ditangan kalian, itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa BAPAK INI SUDAH TIDAK LAYAK MEMIMPIN KAMPUS KITA !!
Dan tanpa dikomandoi seluruh mahasiswa bersama sama meneriaki sang rektor untuk mundur. Sang rektorpun mundur pada hari berikutnya.
Sejak saat itu ayahku mulai diperhitungkan dikalangan mahasiswa dan gadis gadis.
Lulus kuliah, ia bergelut di partai politik selama 13 tahun dan akhirnya berhasil menjadi ketua DPRD.
Pada tahun ke-2 ayahku menjabat, kami [ayah, ibu, aku dan Heru adikku] pindah kerumah besar dengan sebuah pohon Mahoni raksasa dihalaman depannya, rumah ini bergaya minimalis berwarna biru muda. Ini bukan rumah dinas, ini adalah rumah yang dibeli oleh ayah dari hasil kerja kerasnnya selama 13 tahun menjadi politisi dan guru honorer di berbagai sekolah swasta. Ayahku menolak menempati rumah dinas Ketua DPRD yang diberikan padanya dengan alasan masih banyak yang lebih membutuhkan rumah itu ketimbang kami.

Pohon mahoni dirumah ini adalah satu satunya pohon Mahoni yang tersisa dikota ini.
Kalian tahu kawan, pohon ini adalah sumber alasan ibuku dipagi hari untuk marah. Daunnya yang gugur dipagi hari memenuhi pekarangan depan rumah kami, dengan ocehan berbahasa Lampung ibuku mengomel sendiri didepan rumah, [yang artinya kira kira seperti ini] "Sudah mama bilang dengan papa kalian, kalau pohon ini ditebang saja ! Pohon ini gak ada gunanya sama sekali, hanya membuat sampah saja bisanya !", lalu seperti biasa dia memanggilku untuk membersihkan halaman ini dengan ancaman tidak akan memberi uang saku atau akan membuang semua CD Green Day yang aku punya. Ancaman yang tepat untuk membuatku selalu bangun pagi, dan menyapu halaman ini. Kadang sebelum ia mengeluarkan kicauan pagi harinya, aku mencuri start dengan lebih dulu menyapu halaman rumah ini.
Kawan, perlu kalian tahu..
Mendapat IP (Indek Prestasi) 2,0 itu jauh lebih menyenangkan dari pada harus mendengar ocehan berbahasa Lampung dari seorang ibu dipagi hari.
Gak percaya, silahkan coba !
Walau setiap pagi pohon ini kena ocehan ibuku, tapi dia tetap saja berdiri tegak dan tetap menjatuhkan daun daunnya tanpa rasa bersalah !
Tapi situasi yang kontras terjadi pada siang hari, ibu sangat menyayangi pohon Mahoni ini, alasannya karna pohon ini melindungi rumah kami dari amukan sinar matahari.
Kawan, sama seperti mencintai.
Membenci pun kadang dibutuhkan juga sebuah konsistensi.

Komentar