Dita …
Hujan rintik-rintik ini seolah menambah suasana sendu antara kami. Sudah dua kali dalam sebulan aku mengunjungi rumah ini untuk alasan yang sama, turut berbela sungkawa. Aku tau, aku bukan orang asing dirumah ini namun aku kerap merasa asing saat tatapan yang seharusnya aku kenal berubah menjadi tatapan yang sangat berbeda dari seorang dita, sahabatku. Ia terus mencibir disetiap ada tamu yang melayat kerumahnya menangis atau sekedar menitikkan air mata, ia akan tersenyum sinis sambil berkata “ percayalah, hil .. ia tak sungguh-sungguh menangis untuk ibuku..”. Seharusnya aku bereaksi ketika ia mengeluarkan kalimat negative itu namun aku hanya tersenyum kecil karena mungkin menurutku percuma membantah persepsi negatifnya saat ini.
“ maaf hil, aku gak ngerti .. mengapa Tuhan begitu kejam padaku ? baru dua minggu yang lalu Ia mengambil ayahku lalu sekarang Ia mengambil ibuku..! apakah kamu bisa merasakan jika kamu berada diposisi aku?? Ya Allah Hil.. aku bakal sendiri !!” ia kembali mengeracau
Aku menggeleng pelan lalu kugenggam tangannya lembut seolah mencoba memberikan kekuatan baru untuknya. Aku sendiri tak yakin bisa tidak terus menitikkan air mata jika aku berada diposisi Dita. Kulirik Dita, matanya sembab namun ia tidak banyak menampakkan ekspresi kesedihan. Hanya saja ia terus mengutuk pencipta, pengatur, dan pengendali kehidupan ini. Aku merasakan atmosfir berbeda dari dirinya.
Namun tiba-tiba Dita tersenyum “ tapi ada hikmah dibalik semua ini, hil ..”
Kutolehkan kepalaku “ semua kejadian pasti tersimpan sebuah hikmah yang bisa kita ambil, Dit.. kamu sudah paham itu kan, ukh ?”
Lagi-lagi ia tersenyum namun kali ini senyumnya begitu berbeda “ ya .. aku paham itu. Setidaknya aku akan terus belajar tentang arti sebuah keikhlasan. Dan aku merasakan cinta ini…” dita memegang dadanya “ semakin dalam terpatri dalam hati ini untuk ibu ..”
“ tak ada yang dapat menghapus cinta seorang ibu pada anaknya maupun sebaliknya, Dita . Namun cinta tertinggi kita hanya pantas dipersembahkan untuk Sang Pemberi dan Pencabut Kehidupan kita, Allah SWT ”
“ kamu benar, hil .. ”
Aku menarik nafas panjang. Menepuk pundaknya pelan “ ukhti .. kamu sudah berusaha melakukan yang terbaik yang kamu bisa.. ”
“Amin Ya Robb..” ia terdiam namun beberapa saat kemudian tiba-tiba ia terlihat panik ”astaghfirulloh.. aku merasa demikian jauh saat ini.. penyakit futur itu kurasakan mulai menyerangku dan merusak pertahananku! astaghfirulloh…” bibirnya terus beristighfar, ia tertunduk dalam “ innalillah.. ampuni aku ya Allah..”
Kuraih kepalanya lalu kusenderkan diatas bahuku “ semua orang pasti pernah merasakan kesedihan dan putus asa tapi sungguh Dita yang kukenal merupakan seorang wanita yang kuat dan optimis. Aku yakin kamu bisa melewati semua ini, ukhti. Aku percaya itu..”
Kurasakan Dita mengangguk “ kita saling mengingatkan ya hil ?”
Aku menolehkan kepalaku kearah wajahnya lalu tersenyum “insya Allah”
“ Dita ..”
Secara bersamaan kami menoleh kearah sumber suara. Dita mengangkat kepalanya dari bahuku. Ia mengernyitkan dahinya. Tatapannya tajam. Seorang wanita yang kutaksir umurnya sekitar 35 tahun dengan mengenakan busana serba hitam mendekati dita lalu ia memeluk dita. Bibirnya membisikkan sesuatu dan dalam waktu yang bersamaan membuat mata bulat milik dita semakin membulat, matanya berkaca-kaca.
Seolah tak ada masalah, wanita itu melepaskan pelukannya sambil tersenyum padaku. Ia sempat membelai kepala Dita yang terbalut jilbab hitam lalu pergi membelah kerumunan ibu-ibu yang memenuhi ruangan tengah rumah Dita.
Dita terduduk lemas. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kulihat bahunya terguncang, ia menangis. Ya allah.. apa yang telah terjadi??
“ ukhti .. ada apa ?” tanyaku pelan. Kuedarkan pandanganku kesekeliling, jelas saja seluruh pelayat menatap penuh selidik kearah kami. Aku mencoba mengeluarkan senyum pada mereka namun aku tak yakin senyum yang kukeluarkan bisa tercipta secara sempurna sebagai sebuah senyuman, hatiku begitu kalut.
Dita terus menangis, bahkan semakin keras. Dan aku semakin dibuatnya bingung harus melakukan apa. Lamat kudengar Ustadz Khoir yang sibuk memberikan komando, almarhumah akan segera dimakamkan.
“ ukh.. kita kedepan yuk ? ibu akan segera dimakamkan ..” bisikku lembut
Kulihat tangisnya mulai mereda. Ia melepaskan tangan yang menutupi wajahnya lalu mencoba untuk tersenyum padaku “ maaf, hil .. sepertinya aku gak bisa ikut mengiringi ibu keperistirahatan terakhirnya.. kamu bisa mewakili aku? Aku gak kuat, hil..”
Jelas saja aku terkejut. Mana mungkin dita bisa berkata seperti itu? “ada apa, dita?”
Pandangannya menerawang keatas lalu tersenyum lebar “ ayolah.. bantu aku sekali ini saja ..“
Sungguh.. aku seolah tak mengenali siapa gadis disampingku sekarang. Aku tahu cobaan ini begitu sulit untuknya tapi apakah yang demikian ini bisa begitu cepat merubah seorang Dita? Sang aktivis dakwah kampus yang selalu mempunyai semangat untuk membangkitkan Ruh dakwahku dan yang lainnya yang mulai kendor, yang selalu menimbulkan decak kagum dibalik semua tindakannya dan yang terlihat sangat lemah di sepertiga malamnya?? Ya Robb .. aku mohon, jangan ambil Ditaku yang dulu ..
“ mbak dita .. rombongannya sudah mau berangkat..” seorang gadis kecil menghmpiri kami, ia menyodorkan tangannya mengajak dita
Dita menggeleng “ ayu .. mbak dita sedikit pusing..”
“jadi mbak dita gak ikut mengantarkan kepergian ibu untuk yang terakhir kalinya??” ia membungkukkan badannya mendekati wajah dita “ mbak yakin ??”
Dita sedikit terdiam. Aku menggeggam tangannya lalu ku usap lembut “ ukhti..? ”
Tak perlu menunggu lama, Dita menoleh kepadaku dan gadis kecil yang dipanggilnya Ayu bergantian lalu mencoba tersenyum “ apa yang kita lakukan disini??” lalu ia berdiri dan berjalan cepat mendahului kami.
Aku memerlukan langkah cepat untuk mengimbangi langkah-langkah lebar milik dita. Ia terlihat sangat terburu-buru.
“jangan terburu-buru, Dita. Perhatikan langkahmu. Kamu ini terlihat seperti mengejar sesuatu ?” kuucapkan kalimatku sambil terus terengah-engah mengimbangi langkahnya.
“ aku mengejar kematianku, hil ..”
Langkahku terhenti “ a.. apa??!”
Langkah dita ikut terhenti. Ia membalikkan badannya “ aku bisa merasakannya..” matanya menatap tajam mataku namun tiba-tiba ia tertawa lebar “ aku bercanda.. kamu lambat banget sih !”
Kutarik nafas dalam lalu berjalan mendekatinya “ jangan jadikan hal itu sebagai bahan canda, dita. Hanya Allah yang mengetahui kematian itu dan kita tidak bisa memastikannya..” aku menatap matanya tajam tanpa memperdulikan candanya.
Dita mengamit lenganku dan mengajakku kembali berjalan “ ana afham, ukhti fillah..” ia tertawa kecil namun seketika tawanya terhenti. Kepalanya tertunduk “ tapi.. aku akan sendiri dan benar-benar sendiri setelah ini, hil ..”
Aku mengeraskan tanganku dalam genggamannya “ innalillah.. ada apa denganmu ukhti?? Lalu dimanakah Allah dalam hatimu??”
Ia terdiam, begitu juga denganku. Kami terus berjalan dalam diam sampai tiba dilokasi pemakaman. Tak banyak yang hadir dalam acara pemakaman ini. Tak ada paman, bibi, atau saudara Dita yang lainnya. Dita menyimpan banyak misteri menurutku. Ia pernah menceritakan bahwa ia tidak pernah diizinkan untuk mengetahui siapa kakek atau neneknya, apalagi tentang keberadaan paman dan bibinya. Masih terekam jelas dalam memoriku ketika kami kecil dahulu, ketika tiba hari raya Idul Fitri, Dita kecil yang terus merengek pada bundaku untuk mengizinkannya merayakan hari raya bersama keluargaku. Dan saat bundaku bertanya mengapa, dengan polosnya ia berkata “ibu dan ayah tidak merayakan lebaran, bunda.. rumah Dita kosong .Kata ibu, Dita diminta menginap disini. Ohya, ibu menitipkan salam untuk bunda.. ”.
“ Hil .. kamu gak pengen tau siapa wanita tadi ?” ujar dita memecah kebisuan antara kami
Aku menyembunyikan keterkejutanku, kulirik dita lalu menganggkat bahuku “ terserah kamu..” entah mengapa aku menjadi sedikit jengkel pada dita.
“ dia adalah ibu kandungku..”
Entah yang keberapa kalinya aku dibuat terkejut oleh dita. Mataku terbelalak lebar “ ma..maksud kamu?”
“ maaf aku membohongi kamu selama ini.. wanita dalam keranda itu bukanlah ibu kandungku, awalnya ia adalah pengasuhku. Namun ayah telah menikahinya sejak aku TK. Ibuku marah lalu pergi tanpa adanya perceraian antara ayah dan ibuku. Aku sangat menyayangi ibu yang tidak melahirkanku itu. Saat ini hanya satu inginku, aku ingin terus menemani ibu..” dita diam sejenak lalu mengambil nafas panjang dan dihembuskannya perlahan “ andai saja aku bisa..”
Aku tersenyum “ subhanallah .. ”
Dita menoleh padaku “ aku belum selesai, hil ..” lalu memusatkan pandangan matanya kembali kedepan “ ibu kandungku datang untuk mengambil seluruh harta yang ditinggalkan oleh ayahku..”
Seketika senyumku menghilang. Masya Allah .. cobaan ini begitu berat ya Robb.. kumohon, kuatkanlah Dita.
“ tapi aku ikhlas, hil .. sepenuhnya ..”
Aku tak menjawab perkataannya. Aku hanya mengusap punggungnya lembut, aku tau.. ikhlas itu merupakan perbuatan yang mudah untuk diucapkan namun sangat sulit terealisasi. Tapi aku tidak meragukan Dita, aku yakin ia bisa melewati semua ini.
Kami telah sampai dilokasi pemakaman. Aku menarik Dita mendekati liang kubur. Ia terus berdzikir pelan, kurasakan tangannya sedikit berkeringat. Berulang kali ia menghapus air mata dari pipinya. Ia mengangis tanpa suara. Aku masih merasakan genggaman tangannya sampai ketika mayat almarhumah dimasukkan keliang kubur. Namun tak lama kemudian, aku mendengar suara berdebam dari sampingku. Ya Allah … Dita pingsan ! Tubuhnya hampir terjerembab kedalam liang kubur jika aku tidak secara refleks menahan tubuhnya sambil berteriak meminta tolong.
Aku panik, sangat amat panik. Wajah Dita sangat pucat, aku merasa ada yang tidak beres saat ini. Dadaku berdegup kencang ketika tak kurasakan adanya gerakan teratur dari dadanya atau hembusan nafas dari hidungnya. Dan disaat semua orang ikut merasa panik, aku merasa adanya belaian angin yang begitu lembut membelai wajahku. Dan akupun dipaksa untuk menerima sebuah kenyataan pahit, Dita.. telah pergi. Refleks kakiku mundur beberapa langkah, aku belum bisa mempercayai ini semua! Subhanallah.. sesungguhnya kematian itu begitu dekat mengincar kami, Rabb..
Lamat terdengar jelas kembali obrolan kami seminggu sebelum ini, disaat aku bersilaturahmi kerumahnya. Ia menyambutku berbeda, aku tak tahu dimana letak perbedaan itu namun aku merasakannya.
“ sepertinya kamu akan lama dirumahku, Hil ..” ia tertawa kecil “ jika aku meninggal, apa kamu bersedia terus menemaniku sampai keperistirahatan terakhirku, Hil ?”
Aku menggelengkan kepalaku heran sambil tertawa “ iya..iya..”
“ janji ??”
“ insya Allah ..”
Dita tersenyum haru, matanya berkaca-kaca “ kamu adalah sahabat terbaik yang Allah kirimkan padaku, Hil..”
Tak terasa air mataku menetes. Aku masih shock dan tak mampu melakukan apapun. Kurasakan tangisku semakin kencang. Allah.. beri aku kesempatan untuk memperbaiki diri ini.
Kotabumi, 12 – 14 Maret 2010
Hujan rintik-rintik ini seolah menambah suasana sendu antara kami. Sudah dua kali dalam sebulan aku mengunjungi rumah ini untuk alasan yang sama, turut berbela sungkawa. Aku tau, aku bukan orang asing dirumah ini namun aku kerap merasa asing saat tatapan yang seharusnya aku kenal berubah menjadi tatapan yang sangat berbeda dari seorang dita, sahabatku. Ia terus mencibir disetiap ada tamu yang melayat kerumahnya menangis atau sekedar menitikkan air mata, ia akan tersenyum sinis sambil berkata “ percayalah, hil .. ia tak sungguh-sungguh menangis untuk ibuku..”. Seharusnya aku bereaksi ketika ia mengeluarkan kalimat negative itu namun aku hanya tersenyum kecil karena mungkin menurutku percuma membantah persepsi negatifnya saat ini.
“ maaf hil, aku gak ngerti .. mengapa Tuhan begitu kejam padaku ? baru dua minggu yang lalu Ia mengambil ayahku lalu sekarang Ia mengambil ibuku..! apakah kamu bisa merasakan jika kamu berada diposisi aku?? Ya Allah Hil.. aku bakal sendiri !!” ia kembali mengeracau
Aku menggeleng pelan lalu kugenggam tangannya lembut seolah mencoba memberikan kekuatan baru untuknya. Aku sendiri tak yakin bisa tidak terus menitikkan air mata jika aku berada diposisi Dita. Kulirik Dita, matanya sembab namun ia tidak banyak menampakkan ekspresi kesedihan. Hanya saja ia terus mengutuk pencipta, pengatur, dan pengendali kehidupan ini. Aku merasakan atmosfir berbeda dari dirinya.
Namun tiba-tiba Dita tersenyum “ tapi ada hikmah dibalik semua ini, hil ..”
Kutolehkan kepalaku “ semua kejadian pasti tersimpan sebuah hikmah yang bisa kita ambil, Dit.. kamu sudah paham itu kan, ukh ?”
Lagi-lagi ia tersenyum namun kali ini senyumnya begitu berbeda “ ya .. aku paham itu. Setidaknya aku akan terus belajar tentang arti sebuah keikhlasan. Dan aku merasakan cinta ini…” dita memegang dadanya “ semakin dalam terpatri dalam hati ini untuk ibu ..”
“ tak ada yang dapat menghapus cinta seorang ibu pada anaknya maupun sebaliknya, Dita . Namun cinta tertinggi kita hanya pantas dipersembahkan untuk Sang Pemberi dan Pencabut Kehidupan kita, Allah SWT ”
“ kamu benar, hil .. ”
Aku menarik nafas panjang. Menepuk pundaknya pelan “ ukhti .. kamu sudah berusaha melakukan yang terbaik yang kamu bisa.. ”
“Amin Ya Robb..” ia terdiam namun beberapa saat kemudian tiba-tiba ia terlihat panik ”astaghfirulloh.. aku merasa demikian jauh saat ini.. penyakit futur itu kurasakan mulai menyerangku dan merusak pertahananku! astaghfirulloh…” bibirnya terus beristighfar, ia tertunduk dalam “ innalillah.. ampuni aku ya Allah..”
Kuraih kepalanya lalu kusenderkan diatas bahuku “ semua orang pasti pernah merasakan kesedihan dan putus asa tapi sungguh Dita yang kukenal merupakan seorang wanita yang kuat dan optimis. Aku yakin kamu bisa melewati semua ini, ukhti. Aku percaya itu..”
Kurasakan Dita mengangguk “ kita saling mengingatkan ya hil ?”
Aku menolehkan kepalaku kearah wajahnya lalu tersenyum “insya Allah”
“ Dita ..”
Secara bersamaan kami menoleh kearah sumber suara. Dita mengangkat kepalanya dari bahuku. Ia mengernyitkan dahinya. Tatapannya tajam. Seorang wanita yang kutaksir umurnya sekitar 35 tahun dengan mengenakan busana serba hitam mendekati dita lalu ia memeluk dita. Bibirnya membisikkan sesuatu dan dalam waktu yang bersamaan membuat mata bulat milik dita semakin membulat, matanya berkaca-kaca.
Seolah tak ada masalah, wanita itu melepaskan pelukannya sambil tersenyum padaku. Ia sempat membelai kepala Dita yang terbalut jilbab hitam lalu pergi membelah kerumunan ibu-ibu yang memenuhi ruangan tengah rumah Dita.
Dita terduduk lemas. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kulihat bahunya terguncang, ia menangis. Ya allah.. apa yang telah terjadi??
“ ukhti .. ada apa ?” tanyaku pelan. Kuedarkan pandanganku kesekeliling, jelas saja seluruh pelayat menatap penuh selidik kearah kami. Aku mencoba mengeluarkan senyum pada mereka namun aku tak yakin senyum yang kukeluarkan bisa tercipta secara sempurna sebagai sebuah senyuman, hatiku begitu kalut.
Dita terus menangis, bahkan semakin keras. Dan aku semakin dibuatnya bingung harus melakukan apa. Lamat kudengar Ustadz Khoir yang sibuk memberikan komando, almarhumah akan segera dimakamkan.
“ ukh.. kita kedepan yuk ? ibu akan segera dimakamkan ..” bisikku lembut
Kulihat tangisnya mulai mereda. Ia melepaskan tangan yang menutupi wajahnya lalu mencoba untuk tersenyum padaku “ maaf, hil .. sepertinya aku gak bisa ikut mengiringi ibu keperistirahatan terakhirnya.. kamu bisa mewakili aku? Aku gak kuat, hil..”
Jelas saja aku terkejut. Mana mungkin dita bisa berkata seperti itu? “ada apa, dita?”
Pandangannya menerawang keatas lalu tersenyum lebar “ ayolah.. bantu aku sekali ini saja ..“
Sungguh.. aku seolah tak mengenali siapa gadis disampingku sekarang. Aku tahu cobaan ini begitu sulit untuknya tapi apakah yang demikian ini bisa begitu cepat merubah seorang Dita? Sang aktivis dakwah kampus yang selalu mempunyai semangat untuk membangkitkan Ruh dakwahku dan yang lainnya yang mulai kendor, yang selalu menimbulkan decak kagum dibalik semua tindakannya dan yang terlihat sangat lemah di sepertiga malamnya?? Ya Robb .. aku mohon, jangan ambil Ditaku yang dulu ..
“ mbak dita .. rombongannya sudah mau berangkat..” seorang gadis kecil menghmpiri kami, ia menyodorkan tangannya mengajak dita
Dita menggeleng “ ayu .. mbak dita sedikit pusing..”
“jadi mbak dita gak ikut mengantarkan kepergian ibu untuk yang terakhir kalinya??” ia membungkukkan badannya mendekati wajah dita “ mbak yakin ??”
Dita sedikit terdiam. Aku menggeggam tangannya lalu ku usap lembut “ ukhti..? ”
Tak perlu menunggu lama, Dita menoleh kepadaku dan gadis kecil yang dipanggilnya Ayu bergantian lalu mencoba tersenyum “ apa yang kita lakukan disini??” lalu ia berdiri dan berjalan cepat mendahului kami.
Aku memerlukan langkah cepat untuk mengimbangi langkah-langkah lebar milik dita. Ia terlihat sangat terburu-buru.
“jangan terburu-buru, Dita. Perhatikan langkahmu. Kamu ini terlihat seperti mengejar sesuatu ?” kuucapkan kalimatku sambil terus terengah-engah mengimbangi langkahnya.
“ aku mengejar kematianku, hil ..”
Langkahku terhenti “ a.. apa??!”
Langkah dita ikut terhenti. Ia membalikkan badannya “ aku bisa merasakannya..” matanya menatap tajam mataku namun tiba-tiba ia tertawa lebar “ aku bercanda.. kamu lambat banget sih !”
Kutarik nafas dalam lalu berjalan mendekatinya “ jangan jadikan hal itu sebagai bahan canda, dita. Hanya Allah yang mengetahui kematian itu dan kita tidak bisa memastikannya..” aku menatap matanya tajam tanpa memperdulikan candanya.
Dita mengamit lenganku dan mengajakku kembali berjalan “ ana afham, ukhti fillah..” ia tertawa kecil namun seketika tawanya terhenti. Kepalanya tertunduk “ tapi.. aku akan sendiri dan benar-benar sendiri setelah ini, hil ..”
Aku mengeraskan tanganku dalam genggamannya “ innalillah.. ada apa denganmu ukhti?? Lalu dimanakah Allah dalam hatimu??”
Ia terdiam, begitu juga denganku. Kami terus berjalan dalam diam sampai tiba dilokasi pemakaman. Tak banyak yang hadir dalam acara pemakaman ini. Tak ada paman, bibi, atau saudara Dita yang lainnya. Dita menyimpan banyak misteri menurutku. Ia pernah menceritakan bahwa ia tidak pernah diizinkan untuk mengetahui siapa kakek atau neneknya, apalagi tentang keberadaan paman dan bibinya. Masih terekam jelas dalam memoriku ketika kami kecil dahulu, ketika tiba hari raya Idul Fitri, Dita kecil yang terus merengek pada bundaku untuk mengizinkannya merayakan hari raya bersama keluargaku. Dan saat bundaku bertanya mengapa, dengan polosnya ia berkata “ibu dan ayah tidak merayakan lebaran, bunda.. rumah Dita kosong .Kata ibu, Dita diminta menginap disini. Ohya, ibu menitipkan salam untuk bunda.. ”.
“ Hil .. kamu gak pengen tau siapa wanita tadi ?” ujar dita memecah kebisuan antara kami
Aku menyembunyikan keterkejutanku, kulirik dita lalu menganggkat bahuku “ terserah kamu..” entah mengapa aku menjadi sedikit jengkel pada dita.
“ dia adalah ibu kandungku..”
Entah yang keberapa kalinya aku dibuat terkejut oleh dita. Mataku terbelalak lebar “ ma..maksud kamu?”
“ maaf aku membohongi kamu selama ini.. wanita dalam keranda itu bukanlah ibu kandungku, awalnya ia adalah pengasuhku. Namun ayah telah menikahinya sejak aku TK. Ibuku marah lalu pergi tanpa adanya perceraian antara ayah dan ibuku. Aku sangat menyayangi ibu yang tidak melahirkanku itu. Saat ini hanya satu inginku, aku ingin terus menemani ibu..” dita diam sejenak lalu mengambil nafas panjang dan dihembuskannya perlahan “ andai saja aku bisa..”
Aku tersenyum “ subhanallah .. ”
Dita menoleh padaku “ aku belum selesai, hil ..” lalu memusatkan pandangan matanya kembali kedepan “ ibu kandungku datang untuk mengambil seluruh harta yang ditinggalkan oleh ayahku..”
Seketika senyumku menghilang. Masya Allah .. cobaan ini begitu berat ya Robb.. kumohon, kuatkanlah Dita.
“ tapi aku ikhlas, hil .. sepenuhnya ..”
Aku tak menjawab perkataannya. Aku hanya mengusap punggungnya lembut, aku tau.. ikhlas itu merupakan perbuatan yang mudah untuk diucapkan namun sangat sulit terealisasi. Tapi aku tidak meragukan Dita, aku yakin ia bisa melewati semua ini.
Kami telah sampai dilokasi pemakaman. Aku menarik Dita mendekati liang kubur. Ia terus berdzikir pelan, kurasakan tangannya sedikit berkeringat. Berulang kali ia menghapus air mata dari pipinya. Ia mengangis tanpa suara. Aku masih merasakan genggaman tangannya sampai ketika mayat almarhumah dimasukkan keliang kubur. Namun tak lama kemudian, aku mendengar suara berdebam dari sampingku. Ya Allah … Dita pingsan ! Tubuhnya hampir terjerembab kedalam liang kubur jika aku tidak secara refleks menahan tubuhnya sambil berteriak meminta tolong.
Aku panik, sangat amat panik. Wajah Dita sangat pucat, aku merasa ada yang tidak beres saat ini. Dadaku berdegup kencang ketika tak kurasakan adanya gerakan teratur dari dadanya atau hembusan nafas dari hidungnya. Dan disaat semua orang ikut merasa panik, aku merasa adanya belaian angin yang begitu lembut membelai wajahku. Dan akupun dipaksa untuk menerima sebuah kenyataan pahit, Dita.. telah pergi. Refleks kakiku mundur beberapa langkah, aku belum bisa mempercayai ini semua! Subhanallah.. sesungguhnya kematian itu begitu dekat mengincar kami, Rabb..
Lamat terdengar jelas kembali obrolan kami seminggu sebelum ini, disaat aku bersilaturahmi kerumahnya. Ia menyambutku berbeda, aku tak tahu dimana letak perbedaan itu namun aku merasakannya.
“ sepertinya kamu akan lama dirumahku, Hil ..” ia tertawa kecil “ jika aku meninggal, apa kamu bersedia terus menemaniku sampai keperistirahatan terakhirku, Hil ?”
Aku menggelengkan kepalaku heran sambil tertawa “ iya..iya..”
“ janji ??”
“ insya Allah ..”
Dita tersenyum haru, matanya berkaca-kaca “ kamu adalah sahabat terbaik yang Allah kirimkan padaku, Hil..”
Tak terasa air mataku menetes. Aku masih shock dan tak mampu melakukan apapun. Kurasakan tangisku semakin kencang. Allah.. beri aku kesempatan untuk memperbaiki diri ini.
Kotabumi, 12 – 14 Maret 2010
Komentar
Posting Komentar